Senin, 19 Mei 2014


A. Kepemilikan Media
    Kepemilikan media itu bersifat kapitalistik. Analisis kepemilikan media yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam semangat kapitalisme.
    Para peneliti, baik liberal maupun Marxis, sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media berhubungan erat pada kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media.
    Untuk melihat lebih dekat bentuk kepemilikan media, Eoin menyarankan untuk membedakan media menjadi media komunitas, media publik dan media privat. Media komunitas -misalnya televisi lokal, blog, electronic magazine atau newsletter- merupakan media yang diorganisir secara non-profit dan berbasiskan pada kelompok kepentingan tertentu yang spesifik (seperti kelompok perempuan, kelompok etnik, kelompok pelajar, dan lain-lain). Media komunitas mencoba untuk mengakomodir dan menarik audience secara terbatas dan dalam ruang atau tempat yang juga terbatas, seperti di kampus-kampus atau di kota tertentu. Operasionalisasi media dihidupi oleh sejumlah kecil iklan dan sponsorship sehingga media komunitas cenderung independen dari berbagai kepentingan. Kepemlikan media komunitas berada di tangan “komunitas” bukan di tangan pemilik modal tertentu atau di tangan satu-dua orang elit pemilik.
    Media publik biasanya selain disebut sebagai “public media”, seringkali disebut juga dengan “state-owned media”. Dengan demikian media publik dalam konteks ini merupakan media yang dikontrol oleh pemerintah. Beberapa negara yang menghidupkan media publik antara lain Rusia, Romania, Cina, Irlandia dan Kuba. Namun di Indonesia pun masih terdapat media publik, misalnya TVRI. Ada iklan atau tidak, media publik akan tetap tayang, dan sekalipun terdapat iklan, pemerintah tetap menjadi pengontrol terhadap media tersebut. Dengan kata lain, kepemilikan media dalam media publik ada di tangan pemerintah.
    Sedangkan media privat atau yang sering disebut “transnational media” merupakan media yang dikelola oleh satu atau segelintir orang tertentu yang biasanya merupakan pemilik modal. Tujuan media ini sangat jelas, yakni mencari profit dalam bentuk keuntungan ekonomi. Karena itu operasionalisasi media privat sangat bergantung pada iklan, sponsorship dan berbagai aktivitas komersial lain. Dengan kata lain, media privat inilah yang sering disebut sebagai “media konglomerat” yang dikelola secara kapitalistik.
    Dalam konteks Indonesia, terutama sejak era reformasi bergulir, media privat tumbuh dengan sangat cepat dan subur. Berbeda dengan era Orde Baru ketika dimana media masih sangat dikontrol oleh pemerintah baik dari produksi maupun distribusi media.
    Kepemilikan media dengan model media privat atau dengan kata lain media dimiliki oleh satu atau segelintir orang pemilik modal menumbuhkan ekses kepada konglomerasi dan monopoli media. Di Indonesia beberapa contoh konglomerasi dan monopoli tersebut dapat dilihat pada kepemilikan Jawa Post Grup, MNC Grup, Media Grup, Bakri Grup, Trans Media Grup, Gramedia Grup dan Femina Grup. Masing-masing memiliki lebih dari satu media dan bentuknya sangat beragam, misalnya Media Grup memiliki jaringan televisi (Metro TV) sekaligus koran (Media Indonesia); Jawa Post Grup memiliki koran, tabloid dan majalah.
    Pada dasarnya masalah kepemilikan media dengan menggunakan model media privat sudah mendapat batasan dari pemerintah melalui regulasi yang mengaturnya, yakni melalui Undang-Undang Penyiaran. Dalam Undang-Undang Penyiaran misalnya dikatakan bahwa kepemilikan media harus berjaringan atau bisa menggunakan sistem kepemilikan silang (cross ownership). UU Penyiaran Pasal 16 ayat 2 mengatakan;
“Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.”
    Namun UU yang mengatur cross ownership ini ditentang bahkan mendapat penolakan keras dari pemilik media dan praktisi. Mereka bergabung dalam berbagai organisasi, di antaranya Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Dasar dari penolakan terhadap larangan cross ownership ini dilakukan atas nama kebebasan pers, revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang dibangun Indonesia.
    Sekilas alasan penolakan pemilik media dan praktisi di atas tampak rasional dan sulit terbantahkan, terutama untuk alasan kebebasan pers. Namun tampaknya penolakan itu bukanlah semata-mata keinginan untuk mendapatkan kebebasan berusaha seiring dengan makna kebebasan pers. Namun, juga ada alasan lain, yaitu bagaimana pemilik media dengan kekuatan modalnya melalui free trade memperoleh keuntungan yang sebesar-besar dari bisnis ini.

B. Fungsi Media Massa
    Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.
    Fungsi utama media massa menurut  Fauziahardiyani, 2009 adalah untuk memberikan informasi pada kepentingan yang menyebarluas dan mengiklankan produk. Ciri khas dari media massa yaitu tidak ditujukan pada kontak perseorangan, mudah didapatkan, isi merupakan hal umum dan merupakan komunikasi satu arah. Peran utama yang diharapkan dihubungkan dengan perubahan adalah sebagai pengetahuan pertama. Media massa merupakan jenis sumber informasi yang disenangi oleh petani pada tahap kesadaran dan
 minat dalam proses adopsi inovasi.
    Menurut DeWitt C. Reddick, (1976) fungsi utama media massa adalah untuk mengkomunikasikan kesemua manusia lainnya mengenai perilaku, perasaan, dan pemikiran mereka; Dan dalam mewujudkan hal itu, pers tidak akan lepas dengan responsibilitas dari kebenaran informasi (Responsibility), kebebasan insan pers dalam penyajian berita (Freedom of the pers), kebebasan pers dari tekanan-tekanan pihak lainnya (Idependence), kelayakan berita terkait dengan kebenaran dan keakuratannya (Sincerity, Truthfulness, Accuracy), aturan main yang disepakati bersama (Fair Play), dan penuh pertimbangan (Decency). Jadi intinya kebebasan pers sekarang ini dapat dilaksanakan dengan baik, jika kebebasan pers itu diimbangi dengan tanggung jawab dan kode etik sebagai landasan profesi, untuk menghindari ada pemberitaan yang menjurus anarkis.
    Media massa sendiri dalam masyarakat mempunyai beberapa fungsi atau peran sosial, yaitu fungsi pengawasan sosial, fungsi interpretasi, fungsi transmisi nilai dan fungsi hiburan.
♙Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di lingkungan mereka. Media massa meng-up date pengetahuan dan pemahaman manusia tentang lingkungan sekitarnya.
♙Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana memproses, menginterpretasikan dan mengkorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh manusia.
♙Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu ke generasi yang lain.
♙Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia. Manusia cenderung untuk melihat dan memahami peristiwa atau pengalaman manusia sebagai sebuah hiburan.
    Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai fungsi-fungsi baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya kelompok internet di dunia maya. Internet dapat dipahami sebagai alat atau media umum yang bisa secara komplet memenuhi fungsi media massa “tua”. Internet bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial dan mengirim jasa pemerintahan.

C. Hubungan Media Massa

    Dengan Pembangunan
Negara berkembang biasanya memiliki masyarakat tradisional dan bersikap lebih menitikberatkan orientasi sosial daripada orientasi konsep.  Masyarakat tradisional kurang mendidik anggota masyarakatnya untuk berdikari. Akibatnya pekerjaan pembangunan yang harus melibatkan orang banyak akhirnya hanya dikerjakan oleh segelintir orang (jumlah yang kecil).

    Inilah sebabnya secara politis dampak dari mental tradisional yang kurang mampu untuk berdikari, sehingga pembangunan mengarah kepada terkonsentrasinya kekuasaan dan wewenang pada pejabat dan lembaga yang langsung terlibat dalam penentuan pembangunan negara.

Ditinjau dari segi ini maka tugas media massa adalah :
1.  Mendidik masyarakat untuk lebih berorientasi kepada berdikari
2. Mendidik masyarakat biasa, berpikir dalam lingkup sosial yang lebih luas   dari pada kelompok  sosial kecilnya.
3. Mendidik masyarakat akan tugas sosialnya sebagai warga negara suatu   bangsa. (Dr.phil Astrid S. Susanto).
    Jelaslah terlihat bahwa demokrasi saja yang tercantum dalam UUD sebagian negara-negara modern, tidak mencukupi untuk menjadi jaminan kelangsungan hidup demokrasi secara nyata.
    Apabila globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan teknologi komunikasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi di dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1990).
    Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa.
Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring pesan yang datang.          Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit demi sedikit telah mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat.
Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat.   Akibatnya, semakin lama perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke permukaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar